Ganguan mobilisasi atau imobilisasi mengacu pada
ketidakmampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas.
Jenis
Imobilisasi adalah sebagai berikut :
1. Imobilisasi fisik, merupakan pembatasan untuk
bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi
pergerakan.
2. Imobilisasi
intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan pikir
seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit
3. Imobilitas
emosional, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara
emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri
seperti keadaan stress berat dapat disebabkan karena bedah amputasi .
4. Imobilitas
social, merupakan keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan
interaksi social karena keadaan penyakitnya sehingga dapat mempengaruhi
perannya dalam kehidupan social.
Banyak kondisi patologis yang mempengaruhi kesejajaran
tubuh dan mobilisasi, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kelainan
postur
Kelainan
postur yang didapat atau kongenital mempengaruhi efisiensi sistem
muskuloskeletal seperti kesejajaran tubuh, keseimbangan, dan penampilan.
Kelainan postur menggangu kesejajaran dan mobilisasi.
2. Gangguan
perkembangan otot
Distrofi
muskular adalah sekumpulan gangguan yang disebabkan oleh degenerasi serat otot
skelet
3. Kerusakan
sistem saraf pusat
Kerusakan
komponen sistem saraf pusat yang mengatur pergerakan volunter mengakibatkan
gangguan kesejajaran tubuh dan mobilisasi. Gangguan morotik langsung
berhubungan dengan jumlah kerusakan pada jalur motorik. Karena serat motorik
volunter turun dari jalur motorik serebrum bawah medula spinalis, maka trauma
pada medula spinalis juga mengganggu mobilisasi. Trauma ini diakibatkan dari
kecelakaan menyelam, mobil, atau tertembak.
4. Trauma langsung
pada sistem muskuloskeletal
Trauma langsung pada sistem
muskuloskeletal menyebabkan memar, kontusio, salah urat, dan fraktur.
Fraktur tulang adalah patah pada tulang. Fraktur
dapat dibagi menjadi empat jenis. Keempat jenis itu adalah (1) fraktur
komplert, yaitu fraktur yang mengenai tulang keseluruhan; (2) Fraktur
inkomplet, yaitu fraktur yang mengenai tulang secara parsia; (3) fraktur simple
(tertutup), yaitu fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit; (4) Fraktur
cmpound (terbuka), yaitu fraktur yang menyebabkan robeknya kulit. Fraktur
terbuka dan tertutup dapat bersifat komplet atau inkomplet.
Faktur dapat menimbulkan efek. Ketika
tulang patah, sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak di sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak
biasanya mengalami kerusakan akibat cedera. Reaksi inflamasi yang intens
terjadi setelah patah tulang. Sel darah putih dan sel mast berakumulasi
sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke area tersebut. Fagositosis dan
pembersihan debris sel mati dimulai. Bekuan fibrin (hematoma fraktur) terbentuk
di tempat patah dan berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas
osteoblas segera terstimulus dan terbentuk tulang baru imatur, yang disebut
kalus. Bekuan fibrin segera direabsorbsi dan sel tulang baru secara perlahan
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Tulang sejati menggantikan
kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan memerlukan waktu
beberapa minggu sampai beberapa bulan (fraktur pada anak sembuh lebih cepat).
Penyembuhan dapat terganggu apabila hematoma fraktur atau kalus rusak sebelum
tulang sejati terbentuk, atau apabila sel tulang baru rusak selama kalsifikasi
dan pergeseran.
Pengaruh
fisiologis terhadap sistem tubuh akibat dari imobilisasi.
1. Perubahan
Metabolik.
Sistem
endokrin, merupakan produksi hormon-sekresi kelenjer, membantu mempertahankan
dan mengatur fungsi vital seperti respon terhadap stres dan cedera, pertumbuhan
dan perkembangan, reproduksi, homeostasis ion, dan metabolisme energi. Ketika
cedera atau stres terjadi, sistem endokrin memicu serangkaian respon yang
bertujuan mempertahankan tekanan darah dan memelihara hidup. Imobilisasi
mengganggu metabolik normal, antara lain laju metabolik; metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein; ketidak seimbangan kalsium; dan gangguan
pencernaan.
2. Perubahan
Sistem Respiratori
Klien
pascaoperasi berisiko tinggi menglami komplikasi paru-paru. Komplikasi
paru-paru yang paling umum adalah atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pada
atelektosis, bronkiolus menjadi tertutup oleh adanya sekresi dan kolaps
alveolus distal karena udara yang diabsorsi, sehingga menghasilkan hipoventilasi.
Pneumonia hipostatik adalah peradangan paru-paru akibat statisnya sekresi. Atelektasis
dan pneumonia hipostatik, keduanya sama-sama menurunkan oksigenasi,
memperlambat penyembuhan, dan menambah ketidaknyamanan klien (Long et al, 1993
dalam Potter&Perry, 2005)
3. Perubahan
Sistem kardiovaskuler
Sistem
kardiovaskuler juga dipengaruhi oleh imobilisasi. Ada tiga perubahan utama
yaitu hipotensi ortostatik, adalah penurunan tekanan darah sistolik 25 mmHg dan
diastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring atau duduk ke
posisi berdiri. Jika beban kerja jantung meningkat maka kunsumsi oksigen juga meningkat. Oleh karena
itu jantung bekerja lebih keras dan kurang efisien selama masa istirahat yang
lama. Jika imobilisasi meningkat maka curah jantung menurun, penurunan
efisiensi jantung yang lebih lanjut dan peningkatan beban kerja. Selain itu
klien juga berisiko terjadinya pembentukan trombus. Trombus adalah akumulasi
trombosit, fibrin, faktor-faktor pembekuan darah, dan elemen-elemen darah yang
menempel pada dinding bagian anterior vena atau arteri, kadang-kadang menutup
lumen pembuluh darah.
4. Perubahan
Sistem Muskuloskeletal
Pengaruh
imobilisasi pada sistem pada sistem muskuloskeletal meliputi gangguan
mobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi oto klien melalui
kehilangan daya tahan, penurunana otot, atrofi dan penurunan stabilitas.
Imobilisasi menyebabkan dua perubahan skelet: gangguan metabolisme kalsium dan
kelainan sendi. Karena imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan
tulang menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis. Apabila osteoporosis
terjadi maka klien berisiko terjadinya fraktur patologis. Imobilisasi dan
aktivitas yang tidak menyangga tubuh meningkatan kecepatan resorpsi tulang.
5. Pengaruh
Sistem Integumen
Dekubitus
adalah salah satu penyakit iatrogenik paling umum dalam perawatan kesehatan
dimana berpengaruh terhadap populasi klien khusus-lansia dan yang imobilisasi.
Dekubitus terjadi akibat iskimia dan anoksia jaringan.
6. Perubahan
Elimanasi Urine.
Eliminasi
urine klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi tegak lurus, urine
mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke dalam ureter dan kandung kemih
akibat gaya gravitasi. Jika klien dalam posisi rekumben atau datar, ginjal dan
ureter membentuk garis datar sebagai pesawat. Ginjal yang membentuk urine harus
masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi. Akibat kontraksi
peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal
menjadi terisi sebelum urine masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut statis
urine yang meninggalkan risiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal.
Diagnosa
keperawatan mengidentifikasi perubahan jajaran tubuh dan mobilisasi yang aktual
dan potensial berdasarkan pengumpulan data yang selama pengakajian.
Contoh
proses diagnosa keperawatan untuk hambatan mobilisasi fisik dan risiko cedera.
Pengkajin aktivitas
|
Batasan karakteristik
|
Diagnosa keperawatn
|
Ukur
rentang gerak selama latihan ekstremitas
Inspeksi
kulit klien dari keutuhan area eksternitas yang digips. Observasi gaya
berjalan dan kemampuan bergerak secara bebas
|
Keterbatasan rentang gerak pada bahu
kiri. Enggan mencoba menggerakan bahu kiri. Gagal mengoordinasikan ketika
melakukan rentang gerak pada. Klien mengeluh nyeri tajam pada bahu bahu kiri
Abrasi kulit area perimeter yang
digips
|
Hambatan mobilisasi fisik berhubungan
dengan nyeri bahu kiri
Risiko cedera berhubungan dengan
tekanan gips.
|
Efek setelah operasi fraktur dapat berupa cedera
jika tidak dijaga dengan baik selama masa penyembuhan atau pemulihan. Yang harus
dijaga selama proses penyembuhan luka adalah tidak boleh kena air atau basah,
sampai benang dicabut. Jika pinnya dipasang diluar kulit (terlihat) tidak boleh
kena air sampai pinnya dicabut kembali supay tidak terjadi infeksi. Kalau
operasi bukan pasang pin biasanya proses pemulihan lebih cepat hanya menunggu
sampai luka kering dan benang dicabut.
Daftar
Pustaka
Corwin, Elizabeth
(2009) Buku Saku Patofisiologi. Ed 3. ( Terj. Nike Budhi Subekti). Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran
Potter,
P. A and Perry, A. G (2006). Fundamental
of Nursing Consepss, Process, and Practice. Ed. 7 (Terj. Ardina ferdika).
Eds Dripa Sjabana. Jakarta : Salemba Medika.
0 komentar:
Posting Komentar